Nasional • 3 months ago
Problem tentang birokrasi dan pelayanan publik di negeri ini sejatinya sudah menahun. Birokrasi dan pelayanan publik di Indonesia sering diibaratkan sebagai mesin raksasa penggerak pemerintahan yang bercitra lamban, boros, korup, dan ruwet.
Ia lamban karena ia tambun. Jumlah aparatur sipil negara (ASN) terlalu gemuk, tak sebanding dengan pelayanan atau kinerja yang bisa mereka berikan. Karena tambun, ia juga memboroskan uang negara, yang mau tidak mau, jadi lebih banyak dipakai untuk belanja pegawai ketimbang untuk pembangunan. Indeks kualitas ASN di Indonesia juga masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Rendahnya kualitas itu bukan hanya dari sisi keterampilan dan kompetensi, melainkan juga kualitas karakter. Dengan contoh banyaknya ASN yang berurusan dengan komisi antikorupsi karena menerima suap, melakukan korupsi, hingga tindak pidana pencucian uang, belakangan ini, bukankah itu bukti nyata bahwa kualitas karakter ASN kita memang memprihatinkan?
Belum lagi kalau kita bicara soal kedisplinan, betapa banyak ASN yang malas, yang masih suka mangkir dan keluyuran di jam kerja. Itu semua merupakan fakta-fakta perilaku ASN yang mencerminkan sebuah rata-rata kualitas karakter yang rendah. Ibarat bus besar yang tidak bisa melaju, ASN bermutu rendah tidak akan pernah menjadi keuntungan bagi negara.
Lebih parah lagi, pemerintah pusat maupun daerah kerap lalai mengawal produktivitas mereka. Bahkan, belakangan banyak ASN yang justru menggantungkan produktivitas mereka kepada tenaga-tenaga honorer. Pada akhirnya, kian bertambahlah beban negara dengan jumlah honorer yang secara nasional kini jumlahnya mencapai 2,4 juta orang. Bagaimana pun, para tenaga honorer ini mesti pula mendapat perhatian untuk diangkat karena alasan kemanusiaan.
Dalam kondisi seperti itu, sesuai semangat reformasi birokrasi, semestinya yang dilakukan pemerintah ialah menggenjot peningkatan kualitas ASN secara terus menerus. Bahkan kalau berani, buang ASN-ASN yang hanya menggemukkan struktur tapi tak mampu memberi kontribusi apa-apa terhadap negara atau terhadap pelayanan publik. Tujuannya untuk merampingkan birokrasi sekaligus membuat kinerja mereka meningkat.
Namun, yang dilakukan justru kebalikannya. ASN yang kini kinerjanya dipertanyakan itu malah dimanjakan dengan iming-iming kenaikan gaji. Beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Presiden Joko Widodo akan segera mengumumkan kenaikan gaji bagi pegawai negeri sipil (PNS). Hal itu akan tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN 2024.
Sebetulnya sah-sah saja menaikkan gaji ASN, asalkan betul-betul dihitung dengan basis kinerja dan produktivitas. Jangan di-gebyah uyah, gaji semua ASN, termasuk pensiunan dinaikkan. Itu sama sekali tidak fair. Bagaimana keuangan negara tidak akan terbebani kalau pola seperti itu diterapkan?
Selain kenaikan gaji, yang juga mengundang banyak kritik ialah rencana pemerintah membuka rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) dengan total kuota 1.030.751 orang pada September 2023 mendatang. Lagi-lagi, kita patut mempertanyakan urgensi dari rekrutmen sebanyak. Apakah betul-betul karena didasari kebutuhan? Bukankah ASN yang ada sekarang saja banyak yang idle dan tidak produktif?
Patut diduga, ada udang di balik batu dari rencana pemanjaan dan perekrutan ASN baru itu. Boleh jadi ini merupakan langkah atau strategi politik dari pemerintah jika melihat waktunya yang berdekatan dengan penyelenggaraan Pemilu 2024. Tidak sedikit yang curiga bahwa ini langkah untuk memobilisasi para ASN dan para calon ASN agar dapat meraup suara dari mereka demi kepentingan kelompok tertentu di pemilu mendatang.
Karena itu, kiranya kita mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang rencana tersebut. Sebab, pada akhirnya semua itu justru akan membuat anggaran negara kian terbebani untuk hal-hal yang sesungguhnya tidak penting.